Awal perjuangan Bujang
May 24, 2017Malam itu aku baru sadar, ternyata ini masih awal perjuangan.
“Hidup itu keras nak”, petuah terakhir Bapak, sebelum esok hari aku harus meninggalkan keluarga kecil ini untuk mengemban amanah menuntut ilmu di pulau seberang.
Selepas memberi nasihat singkat kepadaku, Bapak langsung menuju ke kamarnya untuk beristirahat. Begitulah pribadi seorang Bapak, dia tidak pernah menampakkan kecemasannya, tapi aku yakin dibalik kepolosan seorang Bapak, ada banyak kecemasan yang tersembunyi.
Berbeda halnya dengan Mamak, sejak awal keinginanku untuk memutuskan merantau, sampai saat ini, dia masih saja meragukan keputusanku.
“Kamu yakin dengan keputusan ini?”, tanya Mamak kepadaku. Aku tidak tau sudah berapa kali pertanyaan yang sama dilontarkan kepadaku.
“Semuanya sudah aku pikirkan jauh-jauh hari, dan saat ini keyakinanku sudah sampai pada puncaknya.”
“Hidup dalam rantau tidak semudah yang kamu bayangkan Bujang, bagaimana nanti kalau kamu sakit, siapa yang akan mengurusnya? apa kamu tidak ingin mengubah niatmu ini.” Ternyata Mamak masih saja mengkhawatirkan anak Bujangnya ini.
“Mamak tenang aja, aku juga tidak sendiri disana, tidak ada yang perlu dicemaskan.”
“Kalau memang sudah bulat keputusanmu ini, Mamak serahkan semuanya kepadamu, Mamak hanya bisa mendo’akan yang terbaik untukmu Bujang anakku.”
“Aku harus memberikan yang terbaik kepada mereka”, hati kecilku berbisik memberi tanda bahwa awal perjuangan sudah di depan mata.
Malam semakin larut. Bulan penuh, sinarnya merambat melalaui celah-celah tingkap rumah malam ini, menerangi seorang perempuan yang kesetiannya tidak terkalahkan dengan pemilik cahaya itu. Sembari Mamak menyiapkan barang-barangku, aku mulai merebahkan badan ini di atas pembaringan untuk beristirahat.
***
Jarum jam yang berdetak di dinding kamarku serasa bergerak dengan cepat. Lantunan suara adzan yang keluar dari toa surau yang merambat cepat ke rumah-rumah sekitarnya membangunkanku dari tidur. Lagi-lagi wanita tua yang paling setia di keluarga kecil ini sudah mendahului kami bangun pagi ini.
“Wah siapa yang sudah menyiapkan ini semua Mak?” tanyaku heran.
“Siapa lagi kalau bukan kami.”
“Kami?”, Pikirku. Aku masih bingung mendengar jawaban dari Mamak tadi.
“Memangnya Mamak dengan siapa menyiapkan barang-barangku?”, tanyaku penasaran.
“Dengan Adikmu Bujang.”
Belum sempat kaki ini kuarahkan ke kamar mandi, dari belakang sudah terdengar suara langkah kaki anak gadis Mamak.
“Abang jangan lama-lama dikampung orang ya…”, cetusnya sambil memeluk erat kedua kakiku dengan manja.
“Adek tenang aja, Abang tidak akan lama-lama kok di kampung orang.” Sambil memeluk dan mencium keningnya.
Aku tau persis perasaan anak ini. Ya, dia Adikku satu-satunya untuk sementara ini, Sarah namanya, umurnya 10 tahun. Dia bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah negeri di kampungku yang jaraknya tidak jauh dari rumah, biasanya Sarah berangkat sekolah hanya dengan mengayuh sepeda dari rumah.
Tidak seperti biasanya Sarah bangun cepat. Biasanya anak itu sangat susah untuk dibangunkan, ternyata alasan dibalik itu semua Sarah tidak ingin ketinggalan melihat abangnya yang akan meninggalkan keluarga, merantau di pulau seberang.
”Sudah-sudah, Bujang kamu siap-siap untuk shalat subuh, selepas subuh kamu sudah harus berangkat”, seru Mamak dari dapur.
Tanpa menunggu lama lagi aku langsung melepeskan tangan Sarah dan menuju ke kamar mandi.
Di tengah udara sejuk pagi itu aku berjalan menuju surau dekat rumahku, sambil melihat-lihat keadaan sekitar rumah, aku bergumam dalam hati.
“Wahai pohon-pohon yang rindang, saksikanlah hari ini aku harus meninggalkan kalian, maka apabila besok kelak kalian sudah tiada, aku-lah yang menjadi saksi akan keberadaan kalian, akan aku sampaikan kepada anak cucuku kelak bahwa kalian dulu pernah menjadi teman bermain yang setia sampai rela kami tindih badanmu.”
Banyak pengalaman yang aku tinggalkan di kampung halaman ini, baik pengalaman senang maupun sedih sekalipun.
Rasanya berat untuk meninggalkan kampung yang dikenal dengan keramahan orang-orangnya ini. Dari kejauhan sudah terdengar lantunan iqamah yang suaranya sudah tidak asing lagi di telinga orang-orang kampung.
Namanya pak Slamet, suaranya sudah mulai meraung-raung di sekitar kampung, setiap masuk waktu adzan, sejak 10 tahun yang lalu. Orangnya sangat sederhana dan ramah dengan warga sekitar. Bahkan dia sudah kami anggap termasuk ke dalam bagian keluarga kami karena dia sering membantu keluarga kecilku. Aku biasa memanggilnya pakde Slamet.
“Ayo Bujang, pagi-pagi gini kamu sudah cengengesan”, tegur Randa dari belakang.
Tanpa menunggu balasan dari ku, kakinya sudah bergerak cepat menuju masjid yang sudah kelihatan dari jauh di depan. Aku pun mempercepat langkah kaki ku menyusul di belakang Randa.
“Bujang, masih kelihatan juga batang hidung kau di kampung ini. Aku dengar kau mau merantau ke pulau seberang”, Seru pakde Slamet selepas shalat yang langsung menghampiriku dari belakang.
“Pakde tau dari mana?”, tanyaku penasaran.
“Si Ahmad beberapa hari ini kelihatan tidak bersemangat di kebun, Pakde tau dari raut wajahnya seperti ada sesuatu yang berat untuk dilepaskan, terus ya Pakde tanya ada masalah apa, dia jawab Bujang anaknya mau merantau”.
Dengan raut wajah serius Pakde melanjutkan pembicaraannya.
“Bapakmu memang begitu orangnya, dia sangat sayang kepada anak-anaknya, terlebih kamu anak pertama.”
“Pakde tau sejak kejadian lima tahun yang lalu yang menimpamu Bujang, kamu harus bisa membanggakan si Ahmad di sana, buat dia senang.”
“Pakde titip pesan satu untukmu, jangan pernah kau tinggalkan masjid, dimana pun kamu berada ingatlah kamu dibesarkan oleh seorang Bapak yang hatinya selalu terpaut dengan masjid, contohlah Bapakmu itu Bujang.”
Aku mengangguk tanpa berkata-kata dan merasa terpukul dengan pesan dari pakde Slamet tadi.
“Baiklah Pakde, insyaallah saya akan berusaha untuk menjalankan apa yang udah Pakde katakan tadi, dan saya juga mohon do’a dari pakde Slamet”.
“Sudahlah Bujang, segeralah pulang, pasti Mamakmu sudah resah menunggumu dari tadi. Semoga sukses anak muda”, seru Pakde sambil menepuk pundakku.
***
Pagi yang cerah dengan kicauan burung camar yang saling berlomba-lomba dengan riang seolah memberi isyarat kepadaku bahwa pagi ini merupakan hari yang paling berbahagia. Di tengah sawah-sawah yang hijau aku berjalan ditemani para petani yang sibuk membajak sawah untuk bekerja mencari sesuap nasi untuk menghidupi keluarganya.
Mendekati waktu keberangkatanku, aku merasa semakin berat untuk meninggalkan ini semua. Terlebih mendengar kata-kata pakde Slamet tadi. Aku tau persis perasaan Bapak. Pengorbanannya untuk menyekolahkanku bukan hanya ditunjukkan kali ini saja.
Dulu pada saat aku melanjutkan sekolah ke SMA favorit di kota, Bapak menjual motor satu-satunya milik keluargaku. Pada saat itu aku mampu membalas usaha Bapak, walaupun tidak seberapa sebagaimana dia sudah membesarkanku. Aku berhasil membuatnya bangga dengan segudang prestasi-prestasi ku, karena prestasi-prestasi itulah aku bisa melanjutkan kuliah keluar kota.
Kali ini Bapak harus mengeluarkan biaya lebih untukku. Aku diterima di universitas negeri yang ada di pulau seberang melalui jalur tanpa tes, akan tetapi biaya yang harus ku bayar di awal melebihi kemampuan keluargaku.
Namun, tanpa berpikir panjang dengan berat hati Bapak menjual sawah milik keluarga yang menjadi satu-satunya sumber penghasilan keluargaku. Untuk menghidupi keluarga kecilku, kali ini Bapak lebih memilih bekerja di kebun milik juragan Munir yang terkenal kaya raya di kampung ini.
Aku yakin Mamak sudah cemas menungguku di rumah. Baiknya ku percepat langkah kaki ini. Di tengah perjalanan pulang aku berpapasan dengan Lintang tetanggaku yang juga teman sekolahku di SMA dulu.
“Bujang, ini ada titipan surat dari Rania”, seru Lintang sambil mengulurkan selembar kertas kepadaku.
Mendengar titipan surat datangnya dari Rania, hati ini mulai tak karuan. Rasanya ada panggilan hati yang berbeda.
“Owh ya, makasih Lintang, kamu ketemu dia di mana?”, Tanya ku penasaran.
“kemarin aku ke rumahnya, dia juga titip pesan untukmu, katanya jaga diri baik-baik di kampung orang.” Mendengar angin segar seperti ini hatiku mulai berbunga-bunga.
“kalau gitu aku balik dulu ya.” Lantaran terlalu senangnya, aku langsung berlari tanpa menunggu jawaban dari Lintang.
Sebenarnya Rania juga menjadi alasan dibalik beratnya hati meninggalkan kampung ini. Rania teman satu kelasku di SMA dulu. Kami sudah berteman sejak dari TK. Dia juga sering bermain ke rumahku pada saat hari libur. Sampai pada saatnya diam-diam mulai timbul perasaan yang berbeda antara kami.
Di awal-awal SMA dulu, aku melihat ada tingkah yang berbeda yang mulai dinampakkan Rania kepadaku. Aku juga mulai berani terang-terangan menampakkan perhatian lebih kepadanya. Terakhir kemarin pada saat ulang tahunku, dia memberikan kado sebuah azimat sejenis surban yang dia beli sepulang dari umrah bersama keluarganya.
Rania seorang anak yang terpandang dan kaya raya dari kampung sebelah. Orangtuanya sudah melarang Rania untuk mendekatiku sejak dulu. Alasannya adalah karena perbedaan derajat keluarganya dengan keluargaku, walaupun kami tidak menjalankan hubungan sebagaimana anak-anak ABG pada saat ini.
“Bujang darimana aja kamu, ayo cepat segera ganti pakaian dan siap-siap berangkat ke terminal, Bapakmu sudah menunggu dari tadi”, seru Mamak dari depan rumah.
“Tadi aku ngobrol sebentar dengan pakde Slamet Mak.”
“Udah-udah cepat masuk”, seru Mamak lagi dengan raut wajah cemas.
Aku segera mengganti pakaian dan melihat lagi barang-barang yang sudah Mamak siapkan semalam. Perjalananku untuk bisa sampai menuju bandara ditempuh dengan waktu tiga hari perjalanan dari rumah, dan juga itu harus menggunakan bus antar kota. Hanya Bapak yang bisa mengantarku dengan motor pinjaman dari pakde Slamet, itu juga hanya mengantarku sampai terminal.
“Sudah siap kau Bujang?”, tanya Bapak dari luar.
“Sudah Pak”, jawabku dengan menampakkan diri dari dalam rumah.
“Semuanya sudah lengkap Mak, Bujang izin pamit dulu, do’akan anak laki-laki Mamak ini ya, mudah-mudahan sampai tujuan dengan selamat”, sambil salam dan mencium kening Mamak.
Sarah yang berdiri disamping Mamak sudah mulai terharu. Dia belum bisa berkata-kata.
“Bujang anakku, sebelum kamu berangkat dengarkan pesan Mamakmu ini.”
“Kamu boleh saja berkelana dimana pun, sejauh apa pun, tapi ingatlah anak panah yang keluar dari busurnya akan melesat cepat mencari sasaran, dan apabila dia berhasil mencapai sasarannya, maka dia berhasil membuat si pemanah senang dan bangga dengannya.”
“Namun, pada akhirnya dia akan kembali ke tangan si pemanah. Jadilah kamu seperti anak panah yang menjadi kebanggan orangtua.”
“Dimanapun kamu berada jangan tinggalkan shalat yang menjadi perintah Tuhanmu”, Air mata Mamak sudah bercucuran membasahi pipinya.
Mamak melanjutkan pembicaraannya, “Jadilah kamu anak yang bisa bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain, ingat perjuangan keluargamu di sini Bujang”, Mataku juga sudah mulai berkaca-kaca.
“Baik Mak, insyaallah Bujang akan selalu mengingat pesan dari Mamak ini.”
“Sudah-sudah, ayo cepat Bujang, bus kamu sudah akan berangkat sebentar lagi”, seru Bapak dari atas motor.
“Jangan nakal-nakal ya dik, dengar apa yang dibilang sama Mamak dan Bapak, jadi anak yang rajin membantu Mamak di rumah, jangan malas-malas belajar”, seru ku sambil mengusap kepalanya.
Sarah masih saja belum bisa berkata-kata. Kali ini matanya sudah mulai kelihatan berkaca-kaca.
“Bujang berangkat dulu Mak.” Aku melambaikan tangan. Disambut dengan lambaian tangan dari Sarah dan Mamak.
“Hati-hati di jalan pak!”, seru Mamak lagi.
Sepanjang jalan Bapak hanya diam dan fokus mengendarai motor. Setibanya di terminal, aku sudah ditunggu oleh sopir bus yang akan membawaku ke bandara yang ada di kota.
“Ayo dik, cepat, udah ditunggu dari tadi”, seru sopir bus dengan raut wajah sedikit marah.
“iya pak”, Jawabku.
“Jaga diri baik-baik di kampung orang Bujang.”
“Jadilah dirimu sendiri. Anak muda itu yang mengatakan ini aku, bukan ini Bapakku”, Cetus Bapak.
“Baiklah Pak, Bujang mohon do’anya”, jawabku sambil menyalami Bapak dan bersegera menaiki bus.
Dari atas bus ini aku melihat Bapak belum beranjak dari tempatnya. Matanya juga sudah mulai berkaca-kaca sejak tadi. Baru kali ini aku melihat air yang mengalir dari mata seorang Bapak yang tegar ini. Tapi Bapak dengan cepat menghapus air matanya berusaha agar aku tidak tau.
Ingin rasanya saat-saat seperti ini memeluk Bapak yang itu belum pernah sama sekali aku lakukan. Aku tau bagaimana perasaannya saat ditinggal oleh anak laki-laki nya ini. Tapi apa boleh buat, aku juga harus mengejar cita-cita ku yang itu semua juga untuk kebaikan mereka.
Di tengah perjalanan menuju bandara aku teringat dengan surat dari Rania yang dititip kepada Lintang pagi tadi. Aku mengambil secarik kertas yang sudah ku simpan di dalam tas.
“Selamat jalan Bujang, semoga kamu sukses di sana.”
“Aku berharap kamu membawa surban dariku setahun yang lalu. Anggaplah surban itu sebagai hadiah dari orang biasa. Tapi aku tidak berharap kamu masih membawa rasa yang sama. Rasa yang dulu kita pupuk bersama. Simpan dulu rasamu, aku juga begitu.”
“Suatu saat nanti jika memang kamu orang yang dipilihkan oleh yang maha membolak balik hati untukku, kita bisa mempersembahkan rasa yang sama dan masih terjaga.”
“Namun, tidak menutup kemungkinan kelak ada wanita lain yang telah menunggumu dan dia lebih baik dariku.”
“Aku berharap kamu bisa fokus dengan pencapaianmu saat ini. Buat bangga ibu Bapak mu. Percaya kepadaku, suatu saat nanti kamu akan kembali dengan kesuksesanmu, pegang kata-kata ku ini Bujang.” Salam serta do’a terbaik dari Rania.
Aku merasa tersipu malu dengan surat ini. Surat dari Rania ini, mengingatkanku atas petuah terakhir dari salah seorang ustad yang mengajar di SMA ku. Petuah ini diberikan kepada kami mengingat pentingnya nasihat ini karena kami akan masuk ke jenjang perkuliahan, yang menurut ustad tersebut, sangat rentan dengan permasalahan hati.
Nama beliau ustad Rahman. Pagi itu suasana kelas terasa sangat tenang, semuanya secara khusyu’ mendengarkan penjelasan ustad Rahman yang membahas masalah cinta. Sebelum menjelaskan kepada kami, beliau bertanya sesuatu.
“Saya meminta kejujuran kalian, apakah ada diantara kalian yang pernah pacaran?.” Suasana tiba-tiba hening sejenak ketika mendengar pertanyaan dari Ustad tadi.
“Iqbal Ustad, dia pernah pacaran”, sahut Angga dari belakang.
Keheningan kelas pecah menjadi tawa dan sorakan teman-teman yang ada di ruang kelas saat itu. Ketika mendengar sahutan dari Angga tadi, akhirnya mereka saling tunjuk satu sama lainnya.
“sudah-sudah kalian jangan saling tunjuk.”
Beliau menggambarkan sebuah diagram di papan tulis, dan meminta kami untuk memperhatikan secara seksama.
Semuanya bertanya-tanya akan maksud gambar itu, kemudian Beliau menjelaskan kepada kami mengenai diagram yang telah digambarnya
“Adek-adek yang dirahmati Allah SWT, ketahuilah cinta yang di awali tanpa ridha Allah atau yang disebut dengan pacaran itu, pada awalnya emang besar dan membuncah karena selalu dikipas oleh rayuan syaithan dan nafsu, namun sedikit demi sedikit cinta tersebut akan kandas.”
“Ada berapa banyak pasangan yangg ketika mereka pacaran, seakan tidak dapat dipisahkan lagi walau hanya sedetik. Namun, setelah mereka menikah tidak pernah terlihat mereka bermesraan lagi.”
“Kenapa? karena di masa pacaran itu kedua pasangan pada munafik, hanya menampakkan yang baik baik saja yang mereka miliki.”
“Ketika pacaran, sudah terbiasa dengan hal-hal yang belum layak dilakukan oleh dua insan yang belum halal, maka ketika menikah nantinya Allah sudah mencabut nikmat tersebut. Jangankan untuk memanggil sayang, menyebut namanya saja susah.”
Ustad Rahman berhenti sejenak menarik napas dan kembali melanjutkan pembicaraannya.
“Namun, orang yang memulai cinta dengan ikatan pernikahan, memang awalnya terasa agak sedikit berat, tapi karena cinta itu dimulai dengan ridha Allah, cinta yang awalnya kecil akan terus membesar seiring waktu berjalan.”
“Sekarang ini ada baiknya kalian memperbaiki diri terlebih dahulu, perbanyak ibadah kepada Allah SWT dan memohon kepada Allah agar diberi jodoh yang terbaik, karena dalam al-Quran jelas disebutkan bahwa lelaki yang baik untuk perempuan yang baik, begitu pula sebaliknya.”
“Ingatlah ada banyak cara Allah menggabungkan dua hati manusia dalam ikatan nikah.”
Bus kurnia yang menghubungkan antar kota ini terus melaju membelah gunung-gunung dan hutan belantara. Di atas bus ini aku berjanji dengan diriku sendiri untuk menjalankan semua amanah yang sudah disampaikan orang-orang yang mendukungku dari belakang, terlebih kedua orang tuaku.
Dari hati yang paling dalam aku berbisik kepada diriku sendiri.
“Bujang awal perjuanganmu di depan mata.”
0 komentar